Rabu, 24 Juni 2015

kuliah di FARMASI

Kuliah di FARMASI prospek kerjanya asik banget lo...

Tak mudah, bisa kuliah di Fakultas Farmasi atau MIPA di sebuah Perguruan Tinggi. Selain minat, mahasiswa Farmasi juga harus berotak encer, dan tentu saja berkantung tebal. Tapi bagaimana nasib mereka bila lulus nanti? 
Berikut gambaran peluang karir
sarjana farmasi di Indonesia.  

Untuk bisa kuliah di Fakultas Farmasi memang tak mudah.Dari tahun ke tahun peminatnya selalu membludak, sementara daya tampung sangat terbatas. 


Investasi Tumbuh Pesat, Industri Farmasi Haus SDM  

Industri farmasi di Indonesia masih akan tumbuh pesat, diikuti kebutuhan tenaga ahli. Jadi, mahasiswa Farmasi tak perlu takut nganggur. 

Kai Arief Iman Selomulya, Ketua Badan Litbang dan Advokasi Hukum Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) optimistis, bahwa sarjana-sarjana farmasi masih punya banyak peluang pekerjaan. Bahkan, sarjana dari luar farmasi pun, bisa bekerja di perusahaan farmasi. Ini, dilihat dari
peluang pertumbuhan industri farmasi yang masih akan terus tumbuh, baik perusahaan asing, lokal, BUMN, maupun industri-industri lain yang masih ada korelasinya dengan obat-obatan.

Saat ini, di Indonesia hanya memiliki sekitar 200 perusahaan farmasi. Sekitar 32 adalah perusahaan asing (PMA). Ada empat milik BUMN, 20 perusahaan farmasi swasta lokal yang termasuk besar, dan 80 perusahaan menengah dan sisanya industri kecil, tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Jumlah industri ini, masih kurang sebanding dengan kebutuhan obat masyarakat Indonesia. Dari penduduk Indonesia sebanyak 240 juta jiwa, konsumsi obatnya hanya sekitar USD 16 miliar. Jumlah ini, masih kurang ideal untuk masyarakat yang sadar kesehatan. Karena, masyarakat yang derajat kesehatannya baik, adalah masyarakat yang mengkonsumsi obat-obatan modern. Idealnya seperti Amerika Serikat. Penduduknya 280 juta jiwa, tetapi konsumsi obatnya mencapai USD 80 miliar. 

Optimisme pertumbuhan pasar obat dan industri farmasi juga ditunjang kebijakan pemerintah yang tengah menggalakkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Program ini memungkinkan masyarakat Indonesia tercover asuransi kesehatan secara merata. Dengan demikian, kebutuhan obat-obatan akan semakin tinggi. Tetapi ironisnya, kapasitas produksi obat dari industri farmasi Indonesia masih kurang mencukupi.  

“Bisa dibilang, Indonesia masih kekurangan industri farmasi,” tandas dia. Membuka peluang investasi industri farmasi seluas-luasanya, adalah satu solusi terbaik. Selain bisa menyerap tenaga kerja lokal, Indonesia pun tak perlu impor obat untuk memenuhi kebutuhan obat yang terus meningkat. Jadi, peluang investasi industri farmasi akan terus bertumbuh. 

Farmasi pun termasuk sektor industri yang cukup booming di Indonesia. Setiap tahun, terjadi kenaikan laju investasi cukup siginifikan, baik dari investasi asing maupun domestik. 
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia, investasi Penanaman Modal Asing di sektor industri kimia dan farmasi Indonesia, sepanjang 2010 memperlihatkan tren kenaikan. Dari periode Januari sampai Desember 2010, ada 159 proyek baru dengan realisasi investasi sebesar USD 798,4 Juta. 


Grafik investasi Penanaman Modal Daerah Nasional (PMDN) di industri ini, juga turut merambat naik. Periode Januari-Desember 2010, sektor industri ini mendapatkan 64 proyek baru, dengan total nilai investasi Rp 3.266 Miliar. 
Sementara, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, mengklaim, setiap tahun, industri farmasi tumbuh 10-15 persen.  

Kalangan pebisnis pun makin optimistis, tahun-tahun ke depan, industri farmasi akan semakin bergairah. Optimisme ini dipicu kenaikan volume konsumsi obat masyarakat. Bahkan ditopang perbaikan perekonomian, sehingga daya beli masyarakat ikut meningkat. 
“Selain kebutuhan obat dan daya beli meningkat, kenaikkan omzet juga dikarenakan produk industri farmasi yang semakin beragam,” kata Anthony C Sunarjo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. 

Fenomena ini, membuat industri farmasi makin memperbesar kapasitas produksi. Varian produk pun semakin banyak. Dulu, industri farmasi hanya memproduksi obat-obatan, baik etikal maupun obat bebas. Sekarang, perusahaan ini mengekspansi produknya pada makanan, minuman, suplemen juga multivitamin, dan mungkin akan berkembang lagi, sesuai kebutuhan konsumen. 
“Mereka memproduksi susu, makanan bayi, juga suplemen. Mestinya memang jaringan operasional perusahaan makin membesar,” kata Anthony. 

Yang patut dicermati lagi, dalam perkembangannya nanti, SDM farmasi memang menerima tantangan besar. Mereka harus berpacu melawan teknologi. Desakan teknologi dan tuntutan standarisasi produk farmasi internasional, membuat industri farmasi mau tidak mau harus mengalihkan tugas SDMnya dari manusia ke mesin. Industri farmasi juga terus dituntut menyesuaikan diri dengan aturan internasional, sesuai standar pharma global. Kapasitas produksi industri farmasi yang kian membesar, justru harus didukung teknologi mutakhir, yang notabene justru memperkecil penggunaan tenaga manusia. Semakin besar pabrik farmasi, jumlah SDM-nya justru semakin menyusut. Fenomena ini sudah terjadi di industri farmasi raksasa di Amerika Serikat, Eropa, bahkan di beberapa negara Asia. Sarjana farmasi atau apoteker masa kini, juga tak hanya dituntut menguasai ilmu obat-obatan saja. Kalau hanya itu, bisa-bisa tenaga mereka bisa digusur dengan mesin. Sarjana farmasi, bahkan apoteker, juga harus menguasai ilmu managemen. Mereka harus bisa menjadi pemimpin, membuat kebijakan dan strategi untuk memajukan perusahaan farmasi. 

Inilah tantangan besar bagi sumber daya manusia di bidang farmasi. Perguruan Tinggi, dalam hal Fakultas Farmasi atau MIPA, harus mempersiapkan SDMnya sesuai kebutuhan industri. Bahkan, trennya, para Perguruan Tinggi harus bisa mencetak SDM plus-plus. Siap? (*)     



Indonesia Kekurangan Apoteker,  Bisnis Franchise? Kenapa Tidak...


Realitanya, Indonesia lain dengan Amerika Serikat atau Eropa. Meski didesak teknologi dan tuntutan standar global, industri farmasi Indonesia masih tetap butuh SDM manusia. 

Kembali Kai Arief Iman Selomulya, Ketua Badan Litbang dan Advokasi Hukum Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI), berpendapat, industri farmasi besar yang sudah go ekspor memang harus menyesuaikan standar pharmautical global. Di Indonesia memang sudah ada perusahaan yang begitu, dan serba mengandalkan  mesin. Tetapi persentasinya masih sedikit, mungkin hanya 5 persen saja. Itu pun, untuk perusahaan yang sudah mengeskpor produknya ke Amerika atau Eropa. 
“Di Indonesia masih banyak perusahaan yang masih memanfaatkan tenaga manusia, dikombinasikan dengan mesin. Bahkan, kalau investasi di industri farmasi terus tumbuh, akan semakin butuh tenaga farmasi,” papar Kai Arief. 

Kalangan industri berharap kampus mencetak SDM-SDM ahli yang plus-plus. Tak sekadar pandai berteori, mahir dan menguasai ilmu fakultasnya, mereka juga dituntut untuk memiliki sklil lebih. Misalnya saja, kemampuan managerial dan wawasan yang luas di luar ilmu faknya. Itu, dari sisi SDM sebagai tenaga kerja. 

Peluang pekerjaan di bidang farmasi di Indonesia dari tahun ke tahun pun terus berkembang.
Sebagai gambaran, sedikitnya ada lima channel bagi SDM farmasi menekuni karirnya. 
Yang pertama, kata Arief, bekerja sebagai profesionalis di industri farmasi. Sarjana farmasi atau apoteker bisa menempati posisi penting di bidang produksi dan managerialnya. Alternatif kedua, bekerja di Pedagang Besar Farmasi (PBF), yang banyak didominasi perusahaan distributor obat-obatan, seperti Enseval Putra Megatrading. Selain tenaga ahli farmasi, perusahaan distributor juga banyak menyerap SDM  non farmasi. Terutama, tenaga pemasaran yang disebut Medical Representatif. Ada pendidikan khusus bagi mereka yang bukan dari jalur farmasi. Tenaga ini butuh SDM banyak. Perusahaan pun menawarkan jenjang karir dan pendapatan tinggi. Sementara, bagi tenaga kerja dari jalur farmasi, juga akan mendapat pendidikan managemen suplai serta materi seputar bisnis dan marketing. 

Lulusan farmasi tentu saja, bisa bekerja sebagai apoteker di apotek-apotek. Sebab, setiap apotek, baik besar atau kecil, wajib memiliki apoteker. Saat ini, di Indonesia bisnis apoteker juga mulai naik daun, seiring dengan tren bisnis franchise di bidang apotek. Di kota-kota besar, seperti Jakarta atau di pulau Jawa, apoteker memang sudah banyak. Tetapi di kota-kota kecil, apalagi di kawasan Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua, profesi apoteker masih sangat langka. Bisa dibilang, Indonesia masih kekurangan apoteker. Tentu saja, fenomena ini menjadi satu tantangan lagi bagi sarjana-sarjana farmasi atau calon apoteker untuk mengembangkan dan mengabdikan diri di kota-kota kota-kota kecil. Siapkah mereka?   
      
Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Drs. M. Dani Pratomo, MM, Apt, pun mengatakan, saat ini, di Indonesia baru ada sekitar 30 ribu apoteker. Sedangkan rasio apoteker di Indonesia adalah 1 banding 8000. Jumlah ini masih kurang ideal. Setidaknya meniru  negara Asean lainnya, satu orang apoteker hanya melayani 4 ribu sampai 5 ribu orang saja. Di Rumah Sakit Indonesia pun, sebenarnya masih kekurangan apoteker. Sebab, yang terjadi sekarang, rumah sakit hanya menyediakan 1-2 apoteker saja. Padahal, sesuai dengan aturan, idealnya, setiap 30 bed untuk pasien, rumah sakit menyiapkan satu apoteker. Fakta ini menunjukan bahwa Indonesia memang masih kekurangan apoteker. 

Peluang kerja yang lebih sederhana lagi, ada di toko obat. Sekarang, toko-toko obat besar, terutama yang berlinsensi, juga harus memperkerjakan apoteker. Setidaknya, ada asisten apoteker. 
Alternatif lain, para ahli farmasi tentu saja bisa terjun sebagai entrepreuner di bidang obat-obatan dan farmasi. Bisa membuka toko obat, franchise apotek atau malah merintis industri farmasi mulai dari skala kecil.  

Kini, perusahaan sekelas Kimia Farma Tbk, pun menawarkan menawarkan sistem waralaba (franchise ) untuk pembukaan toko apotek berlabel Kimia Farma. Keberadaan waralaba apotek Kimia Farma ini akan melengkapi sistem kerjasama operasional (KSO) apotek yang selama ini telah berjalan.

Bagi yang punya dana, bisa inves awal sebebsar Rp 460 juta (di luar sewa tempat) khusus untuk pembukaan apotek baru, sedangkan untuk apotek yang akan dikonversi (apotek lama) hanya Rp 350 juta. Pihak Kimia Farma mengenakan royalty fee 1,5 persen dari penjualan per bulan, dengan masa kerjasama waralaba yang ditawarkan selama 6 tahun.
Kimia Farma menjamin Break Even Point (BEP), atau tingkat pengembalian modal akan kembali dalam waktu 3-4 tahun semenjak dimulai investasi. Selain mendapat stok obat sebesar Rp 150 juta, mitra franchise juga akan mendapat kelengkapan brand sign, perizinan, pembuatan rak, counter dan furnitur, point of sales dan sistem informasi, training SDM, peralatan apotek seperti AC, kulkas, TV, alat tulis kantor.

“Investasi sebesar Rp 450 juta itu sebagian untuk stok (obat), komputer, software, termasuk training dan pegawai dan lainnya,” kata Direktur Utama Kimia, Farma Sjamsul Arifin. (*)

Tabel II1 : Peluang Kerja Ahli Farmasi 

Peluang Kerja Sarjana Farmasi : 
1.    Apotek
2.    Pedagang Besar Farmasi (PBF)
3.    Industri Farmasi sebagai :
    • Bagian penelitian dan pengembangan obat 
    • Bagian produksi obat
    • Bagian Quality Control (QC)
    • Bagian penjualan (sales) dan pemasaran (marketing) obat.
4. Instansi pemerintahan dan TNI / Polri apoteker bisa bekerja di:
    • Bagian administrasi pelayanan obat pada instansi pemerintah/TNI/Polri
    • Departemen Kesehatan (Depkes), Badan Pengawasan Obat Makanan (BPOM)
    • Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas|) sebagai dosen bidang farmasi
5. Peneliti       
6. Di klinik pemeriksaan 
7. Wirausaha

Industri Farmasi di Indonesia 

Proyek investasi Industri Farmasi Indonesia Januari – Desember 2010:   

PMA                 : 159 proyek baru, nilai USD 798,4 Juta.  
PMDN             :  64 proyek baru, nilai Rp 3.266 Miliar. 
Growth Industri Farmasi :    :  10-15 persen per tahun 
sumber :  Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia 

Jumlah Industri Farmasi di Indonesia     : 200 Perusahaan 
Perusahaan asing (PMA)             : 32 Perusahaan  
BUMN                     : 4 Perusahaan 
Perusahaan Swasta Lokal (PMDN) Besar     : 20 Perusahaan 
PMDN Menengah                 : 80 Perusahaan 
PMDN Kecil                     : Sisanya 
sumber : Gabungan Pengsuaha Farmasi Indonesia 

      Apoteker di Indonesia  
       Jumlah Apoteker di Indonesia         :  Sekitar 30 ribu Apoteker
         Rasio tugas apoteker di Indonesia         :  1 Apoteker melayani 8000 orang  
Idealnya tugas apoteker di Indonesia     :  1 Apoteker melayani 4 -5 ribu orang 
       Idealnya apoteker di Rumah Sakit         :  1 Apoteker melayani 30 bed pasien 
    Sumber; Ikatan Apoteker Indonesia 

Tabel IV: 

Sepuluh Fakultas Farmasi Favorit Industri 
    1.   Institut Teknologi Bandung (Penyerapan SDM) 
    2.   Universitas Gajah Mada, Yogjakarta (Industri memberi masukan untuk muatan kurikulum Program Megister Farmasi)
3.   Universitas Indonesia, Jakarta (Seminar,riset obat-obatan)
4.   Institut Pertanian Bogor ( Penelitian dasar untuk bahan baku obat)
5.   Universitas Airlangga  (Riset obat-obatan)
6.   Universitas Diponegoro  (Riset bahan herbal dan obat-obatan)
7.   Universitas Sumatera Utara  (Riset obat-obatan )
8.   Universitas Padjajaran  (Riset obat-obatan)
9.   Universitas Atmajaya (Riset obat-obatan)
10. Universitas Trisakti  (Riset obat-obatan)
sumber : Gabungan Pengsuaha Farmasi Indonesia 


Hasil Riset Peneliti Indonesia Kurang Aplikatif  

Kalangan industri memiliki istilah ABG, alias Academician, Business and  Government. Maksudnya, industri, dalam hal ini Farmasi Indonesia, selalu berusaha sinergis dengan Perguruan Tinggi dan Pemerintah. Tak sebatas penyerapan tenaga kerja, industri juga memberikan dukungan moril dan materiil terhadap kampus. “Intinya, saling mensuport, antara kampus, pebisnis dan pemerintah. Kita maju bareng, tumbuh bersama,” papar Kai Arief Iman Selomulya lagi.

Kalangan industri farmasi sudah secara reguler dan kontinyu menjalin kerjasama sinergis dengan kampus dan pemerintah. Khusus untuk kampus-kampus, industri memang sering menjadi partner dalam pengembangan penelitian-penelitian ilmiah.  Bahkan, PT Kalbe Farma, secara rutin menyelenggarakan award bagi para peneliti Indonesia. 

Disamping itu, industri juga sering diajak diskusi, seminar dan masukan kepada kampus mengenai temuan-temuan di bidang farmasi. “Ada beberapa kampus yang rutin bekerjasama dengan kita, terutama soal penelitian. Bahkan UGM, saat akan membuka program megister, mereka meminta masukan pada industri,” ungkap Kai. 
Industri juga masih punya harapan besar terhadap kalangan akademisi peneliti. Industri farmasi selalu membutuhkan jasa peneliti untuk mengembangkan produk yang tepat guna. Kalangan industri farmasi sebenarnya sangat ingin menggunakan hasil riset peneliti dalam negeri untuk pengembangan produk-produknya. Apalagi, Indonesia kaya sumber daya alam, yang bisa diteliti dan diaplikasikan oleh industri. Dari sekitar 30 ribu jenis tanaman yang ada di Indonesia, baru sekitar 700 ratusan jenis yang sudah diteliti dan dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat Indonesia.     

Tetapi, keinginan itu masih jauh panggang dari api. Sebab, masih banyak hasil-hasil riset para peniliti dalam negeri yang belum siap diaplikasikan. Alhasil, perusahaan farmasi menyewa dan mengaplikasikan hasil riset dari peneliti dari luar negeri. 
Sebuah perusahaan farmasi besar Indonesia pun menggunakan hasil riset peneliti luar negeri. Alasanya, karena hasil riset peneliti asing lebih bisa dipertanggungjawabkan, lebih siap diaplikasikan oleh industri, termasuk risikonya. Sementara hasil riset peneliti Indonesia seringkali masih terkatung-katung. Belum sampai uji klinis, atau belum final untuk diaplikasikan. Peneliti kita masih belum siap. Jadi, industri tak berani  menggunakan jasanya. Ini sangat disayangkan! Padahal Indonesia punya kekayaan alam yang bisa diteliti untuk pengembangan produk industri farmasi.
“Tetapi, seringkali hasil-hasil penelitian itu hanya setengah hati, belum tuntas dan tidak teraplikasikan. Jadinya mubadzir,” terang Kai. 

Inilah problematika besar bagi dunia penelitian di tanah air. Dunia penelitian kita butuh perhatian ekstra dari pemerintah, terutama suport dana dan kesempatan. Untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas dan applicable, memang butuh investasi besar. Jangan sampai, kekayaan alam Indonesia justru diteliti oleh para peneliti asing, lantas perusahaan farmasi kita justru membeli hasil penelitian itu secara mahal. Jangan sampai terjadi pula, kekayaan hayati kita justru diambil oleh peneliti luar negeri dan masyarakat justru mengimpor produk jadinya saja, padahal bahan bakunya dari Indonesia. Jangan sampai! (*) 

Studi Obat Herbal, Peminat Membludak, Belum Lulus Alumni Sudah Dipesan Perusahaan 

Tren pengobatan herbal dalam kemasan modern, kini mulai diminati masyarakat. Perguruan Tinggi pun tertantang untuk mengembangkan riset-riset ilmiahnya. Di Eropa dan Asia, terutama China, studi pengobatan herbal sudah lama masuk dalam kurikulum fakultas kedokteran. Tetapi di Indonesia, ini tergolong studi yang mulai ngetren, seiring dengan tuntutan kebutuhan pengobatan masyarakat. Universitas Indonesia pun membuka program studi megister studi khusus ilmu herbal. 
Abdul Mun'im, PhD, Msi, Apt, Ketua Program Studi Megister Ilmu Herbal, Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, ini memang tergolong program studi baru di UI bahkan di Indonesia. Tujuannya untuk mengembangkan riset obat-obatan herbal Indonesia, dan mendapatkan bukti ilmiah yang kredibel. Harapannya, dokter bisa percaya bahwa obat-obatan herbal memang aman dikonsumsi untuk pasien, sehingga bisa masukan dalam resep dokter.
  
Sebelum akhirnya resmi membuka program studi megister ini, Departemen Farmasi Universitas Indonesia, memang sudah melakukan studi banding ke beberapa universitas di Jerman dan China. “Ternyata ilmu ini memang sangat prospektif dan sudah saatnya kita lebih memperdalam dan mengembangkan riset ilmiah bahan herbal Indonesia untuk pengobatan medis,” terang Abdul.
  
Ada tiga peminatan khusus dalam program studi ini, yakni, studi herbal medic, studi herbal keperawatan dan studi estetika Indonesia.

Herbal medic, peminatnya adalah para apoteker dan para dokter yang juga sudah ahli dalam bidang pengobatan alternatif, misalnya akupuntur.  Studi ini khusus mengkaji dan mengembangkan penelitian tentang obat-obatan herbal.  “Membuat folmularian obat-obat herbal, sehingga nantinya, obat herbal bisa masuk jalur formal yang digunakan para dokter untuk pengobatan pasien,” jelas Abdul.    

Lantas peminatan herbal keperawatan. Sebagain besar mahasiswanya, adalah para perawat yang ingin mendalami studi obat-obatan herbal. Dan, yang terakhir, adalah studi estetika Indonesia, yang  bekerjasama dengan Martha Tilaar, khusus studi bahan kosmetik herbal Indonesia (local wisdom). 

Sejak zaman nenek moyang, bangsa Indonesia memang sudah menggunakan bahan herbal untuk perawatan kecantikan. Studi inilah, yang akan memperdalam riset dan menghasilkan kajian ilmiah untuk seperti bahan lulur, spa, bedak dingin atau bahan lainya.
  
Abdul menjelaskan, program studi megister herbal di Indonesia, memang tergolong baru. Termasuk di UI, yang baru  berjalan angkatan pertama. Tetapi, peminatnya membludak. “Angkatan pertama jumlah mahasiswanya 44 orang. Ini, sudah termasuk bagus untuk program studi megister,” tegas Abdul. 

Studi peminatan herbal medicine dan estetika Indonesia, paling banyak diminati. Bukan saja dari kalangan mahasiswa, program studi ilmu herbal juga diminati industri farmasi baik dalam maupun luar negeri. Perusahaan farmasi sering bekerjasama dalam penelitian, uji toksositas dan uji klinis untuk menghasilkan obat yang kini dijual di pasaran. Bahkan, tak sedikit perusahaan yang memesan alumni program studi megister ilmu herbal untuk bekerja sebagai tenaga ahli di perusahaan farmasi besar di Indonesia.
Saat ini, sebagian siswa memang masih mahasiswa lokal, dari Indonesia. Tetapi, Ui berharap, program studi ini juga diminati mahasiswa asing, terutama dari kawasan Asia. Malaysia, China, Singapura, Taiwan, Thailand, dan India, adalah target pasar utama untuk program studi ini.  (*)   

Tabel V : 
Sepuluh perusahaan besar yang aktif bekerjasama dengan Ketua Program Studi Megister Ilmu Herbal, Universitas Indonesia (UI). 

    1. Darya Varia  Laboratoria   ( Riset obat, contohnya, Nature E)
    2. PT  .  Laboratories ( Pengembangan produk)
    3. PT  .  Industri Farmasi. ( Riset obat Diapet NR)
    4. PT   Industri Borobudur (Riset obat herbal)
    5. PT Jamu Puspo   Internusa (Riset pengembangan produk  )
    6. PT Martina Berto, Tbk (Uji toksositas bahan herbal, program megister herbal
    7. PT  .  Reksa (riset obat)
    8. PT Combiphar (riset obat)
    9.  PT  . Papua (riset bahan herbal obat)
    10.   PT Medifarma Laboratories Inc (riset obat)


Siapapun Bisa jadi Guru, Mentrasfer Ilmu dalam Keseharian 

Mengajar dan mendidik, memang tak harus dilakukan orang yang berprofesi guru. Bos perusahaan sekaliber Martha Tilaar pun, rela meluangkan waktu untuk berbagi ilmu.  

Oleh : Lilies Rohanna Tan 

Bu Martha, begitu akrap disapa, kini tercatat sebagai salah satu pengajar di Fakultas MIPA,Departemen Farmasi,Program Studi S2, Jurusan Herbal Medician, Universitas Indonesia, Jakarta. 

“Saya senang sekali bisa ngajar di Universitas Indonesia, meski hanya sebagai dosen tamu. Tapi saya bangnga, bisa transfer ilmu pada generasi muda, terutama semua hal tentang obat herbal,” kata Martha, saat ditemui CampusIndonesia, di ruang kerjanya, Kamis (31/3)lalu.

Untuk seorang Martha, kembali ke kelas, memang ibarat meraih mimpinya yang sempat terputus. Sebab dulu, Martha muda sebenarnya sudah merancang karir di dunia pendidikan. Bahkan, sempat meniti karir sebagai pendidik. Namun, pada akhirnya takdir berkata lain. Martha malah sukses membangun kerajaan bisnis kosmetik dan kecantikan. 

“Yah, itulah kehidupan. Tuhan sudah merancang kehidupan setiap individu. Dan akan indah pada waktunya,” tandas Martha, yang berkisah kehidupannya semasa muda.        

Sejak kecil, Martha memang sudah mendesain diri untuk jadi guru. Maklum saja, zaman dulu, guru bagi seorang wanita, termasuk profesi terhormat. “Saya didukung ibu saya dan semua keluarga. Pokoknya nanti saya jadi guru saja,” kenang dia.   

Tak sampai tamat Sekolah Dasar di kota kelahirannya, Kebumen dan Gombong, Jawa Tengah, Martha pindah ke Jakarta. Lantas melanjutkan sekolah di SD Theresia dan SMP Jakarta. Begitu lulus, dia melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA).
“Ini sekolah menengah dan program khusus calon guru, zaman itu,h sambung Martha. 

Untuk bisa mengajar, Martha juga mengambil program khusus B2 setamat SGA. Bahkan, ia melanjutkan studi ke Ikip Jakarta, di Rawamangun (1963). Sembari kuliah, Martha, yang kala itu masih tomboy pun, sudah nyambi menjadi guru honorer di SD Santa Theresia, Jakarta. 

“Kalau enggak salah, masih tahun limapuluhan. Saya ngajar pendidikan kurikulum. Sampai sekarang sekolahnya masih ada, semua anak-anak saya sekolah disana,” kenang dia. 

Di semester akhir, Martha juga tetap konsisten dengan niatnya, menjadi guru. Dia menjadi asisten dosen untuk mata kuliah kurikulum di dua tempat sekaligus, Universitas Atmajaya dan Ikip Jakarta. Ini pun berlanjut sampai dia menikah dengan pujaan hatinya, Alex H. Tilaar. 
“Terus ceritanya, Pak Alex dapat beasiswa single di Amerika, saya ditinggal. Nah, supaya saya bisa ikut ke sana, saya nabung dari hasil mengajar. Akhirnya saya ikut ke Amerika,” papar Martha. 

Saat berada di Amerika, Martha tak lagi mengajar di kelas. Dia justru menempuh pendidikan kecantikan di Academy of Beauty Culture, Indiana, Amerika Serikat.  

Ijazah dari sekolah inilah yang memaksa Martha berpaling dari dunia mengajar. Sebab dia membuka salon kecantikan di Amerika, demi menyambung hidup bersama suami tercinta. Dia getol mempromosikan diri ke kampus-kampus ke perumahan mantan dosen untuk mendandani para istrinya. Begitu pula kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia, atau ibu-ibu yang mengikuti suaminya tugas di luar negeri. Martha juga sempat menjadi sales girl,menjual produk avon dari pintu ke pintu. 

“Tuhan membelokan jalan hidup saya ke dunia bisnis. Tapi, saya bersyukur, semua ada hikmahnya. Dan buat saya, mengajar kan tidak harus di kelas,” papar dia. 

Sejak empatpuluh tahun silam, Martha memang sudah menanggalkan profesi guru. Tapi, spirit mendidik masih tertinggal dalam jiwa Martha. Saat dia membuka salon kecil di garasi rumah, pada 1970, Martha pun mendidik karyawannya yang hanya berprofesi pembantu rumah tangga atau wanita nganggur, menjadi tenaga salon profesional. Inilah bukti kongkret, bahwa jiwa pendidik Martha Tilaar teraplikasi dalam praktik keseharian. 

Menurut Martha, menjadi guru memang tak harus di kelas, dengan mengajar secara formal. Proses menransfer ilmu, sambung dia, bisa dilakukan siapa pun, apa pun profesinya, kapan pun dan dimana pun. Tentu dengan banyak cara, sesuai kapasitas masing-masing. Yang penting, lanjut dia, ilmunya bermanfaat.    

“Misalnya dulu, waktu saya pertama buka salon. Saya rekrut mereka untuk dididik menjadi tenaga ahli. Lantas sekalian bekerja di salon saya. Kan lumayan, dia dapat ilmu, sekalian dapat uang. Saya didik mereka dari nol sampai bisa,” terang Martha panjang lebar.
Strategi ini cukup berhasil. Sampai kini, alumni pendidikan salon garansi Martha Tilaar pun sudah bekerja professional dan cukup ternama. 

Martha menuturkan, PT Martina Berto group yang fokus mengembangnkan kosmetik berbahan herbal berkemasan modern, memang banyak dibantu para ahli dan profesional akademisi. 
“Sejak dulu, kami bekerjasama dengan SMK, universitas dalam dan luar negeri, baik untuk rekruitmen SDM, maupun riset,” papar Martha, yang mencontohkan, Prof. Clour, orang Belanda kelahiran Padang, Sumatera Barat, peneliti di Leiden University, Belanda. Martina Berto menyewanya selama 10 tahun, khusus untuk meriset Etno Botani dan Medical Antropology. Bahkan beberapa kali mengandeng Münster University Jerman. 

Martha Tilaar group juga menyekolahkan SDM-nya, hingga ke strata dua dan doktoral. Sebagian dengan beasiswa, sebagian lagi dibiayai perusahaan. “Setiap tahun ada seleksi karyawan berprestasi dan kami mengirim mereka ke kuliah baik di dalam negeri maupun di luar negeri,h tandas Martha lagi.  Tak terhitung pula professor dan tenaga ahli dalam negeri yang ikut membesarkan Martina Berto, dari Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, UGM Jogyakarta,  Unpad,  ITB Bandung, BPPT, LIPI dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 

Bahkan, tahun lalu, Martha Tilaar group bekerjasama dengan Fakultas MIPA, Universitas Indonesia berpartisipasi dalam Program Studi S2 untuk jurusan Herbal Medicne. 

Kepedulian Martino Berta pada dunia pendidikan pun menginspirasi Kementrian Hukum dan HAM RI, memilih Martha Tilaar sebagai Duta pendidikan Indonesia, tahun lalu. Tentu saja, Martha menerima anugerah ini dengan penuh tanggugjawab. “Ini bagian dari tanggungjawab sosial saya secara personal maupun perusahaan,” tandas dia. 

Hal pertama yang dia lakukan, adalah meninjau dan melatih narapidana perempuan di penjara. Dari hasil kunjungannya ke penjara-penjara itulah, dia menemukan fakta memilukan. Sebanyak 43 persen penghuni penjara, ternyata kaum hawa. Mereka terlibat aksi kriminalitas demi menghidupi keluarga.

“Saya terdorong melatih mereka, sehingga mereka bisa berkarya dan berpenghasilan, meski tinggal di penjara,” terang Martha. Harapannya, ketika bebas dari tahanan nanti, mereka bisa menghidupi anak dan keluarganya.
Misi pelatihan para narapidana wanita pun berjalan mulus. Seperti yang sudah berjalan di Lapas Tangerang, Banten. Wanita-wanita narapidana di sana diberi pelatihan skill sesuai minat masing-masing. Hasil pekerjaannya dijual dan uangnya untuk mereka sendiri. Ternyata mereka sangat antusias. Sudah banyak yang bisa mandiri, menghasilkan uang dari dalam tahanan dan dikirim untuk keluarganya. “Ini program rutin, pembinaan selanjutkan dilakukan di Lapas Malang, Jawa Timur,” kata Martha.
     
Di level pendidikan menengah, sudah sejak 1990, Martha Tilaar group sudah memberikan program beasiswa bagi gadis remaja dari kalangan miskin. Beasiswa berupa pelatihan perawatan kecantikan dan kesempatan untuk bekerja sebagai terapis spa untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 
Kini, program ini berkembang, dengan merekrut lulusan SMK yang berminat bekerja di salon Martha Tilaar Group.
  
Menyandang predikat duta pendidikan atau tidak, Martha, secara pribadi, mengaku masih sangat peduli pada dunia pendidikan di Indonesia.  “Bahkan di waktu senggang, saya masih studi banding ke Universitas ternama di seluruh dunia. Saya juga menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengobatan herbal,” papar Martha yang kini sudah menerbitkan puluhan buku, dibantu riset dari para profesor. 

Dia berharap, buku-bukunya bisa dibaca generasi muda Indonesia, sehingga ilmu dan local wisdom yang tulisnya bisa bermanfaat. Terutama untuk melestarikan kekayaan bangsa, baik kekayaan alam maupun local wisdomnya. ”Saya enggak mau generasi muda kita lupa bangsanya sendiri. Dari tulisan saya inilah, saya mentrasnfer ilmu untuk anak dan cucu saya kelak,” papar dia.
  
Begitulah cara Martha Tilaar berbakti pada dunia pendidikan, dalam kapasistasnya sebagai entrepreuner. Bagi dia, dunia pendidikan dengan SDM yang berkualitas, adalah aset berharga. Sinergi Martina Berto Group dengan dunia pendidikan, termasuk rahasia sukses Martha Tilaar dalam mengendalikan kerajaan bisnisnya. (*) CI

sumber :darisini






    


    






    

  


        



         




      




Tidak ada komentar:

Posting Komentar